Gelar Aksi di MK, GPKD: Batalkan Putusan MK soal Pilkada karena Jabatan Ketua MK Tidak Sah!
Jakarta –Sejumlah massa yang tergabung dalam Gerakan Pro Konstitusi dan Demokrasi Daerah (GPKD) melakukan aksi demonstrasi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat, 28 Februari 2025.
Mereka menyuarakan agar semua putusan MK terkait dengan Pilkada tahun 2024 dibatalkan. Putusan tersebut dianggap ilegal karena ketua MK saat ini masih dijabat Suhartoyo pasca putusan PTUN Jakarta.
“PTUN telah memutuskan menyatakan batal pengangkatan Suhartoyo sebagai ketua MK. Tetapi sampai saat ini yang bersangkutan masih tetap menjabat ketua serta mengadili sengketa hasil Pilkada,” kata Koordinator Aksi, Al Farisi.
Ia menyampaikan, pasca putusan PTUN, semua putusan MK di bawah kepemimpinan Suhartoyo tak punya legitimasi serta layak disebut ilegal.
Terlebih, putusan MK mengenai sengketa hasil Pilkada berdampak besar pada keberlangsungan demokrasi di tingkat lokal.
“Bagaimana mungkin nasib demokrasi daerah diserahkan kepada instansi yang secara struktural dan fungsional diisi dan dijalankan oleh orang bermasalah? Beberapa kandidat bahkan didiskualifikasi. Harusnya, Suhartoyo yang didiskualifikasi duluan agar putusan MK benar-benar fair dan berintegritas,” ungkapnya.
Menurut Farisi, banyak pihak yang dirugikan oleh putusan MK. Citra KPU tercoreng karena dituduh tidak profesional. Pengorbanan kandidat yang didiskualifikasi baik dari segi waktu, pikiran, materi, dan sebagainya jadi sia-sia.
“Keterikatan emosional pemilih dengan figur serta visi dan program kandidat menjadi terputus begitu saja. Pun dengan negara karena boros anggaran,” tambahnya.
Soroti Pencitraan MK
GPKD juga mencermati putusan MK yang mendiskualifikasi kandidat karena dianggap telah menjabat dua kali atau dua periode.
Dalam pandangan mereka, kasus demikian tak mungkin terjadi bila ketentuan perundang-undangan jelas dan tegas mengatur masalah tersebut.
“Mengapa baru disoal dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), saat nasi sudah jadi bubur? Bukankah periodisasi itu lebih ke soal aturan yang masih samar, dan karenanya memicu perbedaan tafsir di antara stakeholders Pilkada?,” ucap Farisi.
Dia menyebut, MK bersama-sama KPU dan Bawaslu mestinya bersikap proaktif sejak awal dalam mengantisipasi persoalan yang potensial merugikan banyak pihak di Pilkada. “Bukan berperan sebagai pahlawan kebablasan,” imbuhnya.
Dia menangkap kesan MK seolah ingin mencitrakan diri sebagai satu-satunya lembaga penjaga konstitusi dan pengawal demokrasi. Padahal, ujarnya, putusan MK justru mengangkangi spirit bernegara hukum serta menciderai nilai demokrasi.
“Sejak awal, selama ketuanya masih Suhartoyo, MK tak punya legitimasi serta integritas moral dan hukum memutus perkara Pilkada. Jangan korbankan rakyat di daerah,” pungkasnya.