Vonis Korupsi PLTU Bukit Asam, Kuasa Hukum Nehemia Indrajaya Sebut Putusan Hakim Janggal

ILustrasi hakim/hukum
Sumber :

Palembang – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang menjatuhkan vonis 6 tahun penjara kepada Nehemia Indrajaya, Direktur PT Truba Engineering Indonesia, dalam perkara dugaan korupsi proyek retrofit sistem sootblowing PLTU Bukit Asam di PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan. Namun, putusan tersebut dianggap tidak mencerminkan fakta-fakta hukum yang terungkap selama persidangan.

 

“Kami melihat dari putusan hakim kemarin itu jauh sekali dari fakta-fakta hukum yang terungkap di dalam persidangan. Putusan itu seolah-olah hanya membenarkan apa yang disampaikan jaksa dalam tuntutannya,” ujar Kuasa Hukum Nehemia, Wa Ode Nur Zainab, saat dihubungi, Selasa 15 April 2025

Soal perhitungan kerugian Negara misalnya, menurut Wa Ode, nilai proyek retrofit sebesar Rp74 miliar yang dicantumkan dalam kontrak tidak sepenuhnya diterima oleh PT Truba. Sehingga jelas sangat keliru apa yang disampaikan hakim.

“Uang yang dikirim ke rekening PT Truba hanya sekitar Rp67 miliar setelah dipotong PPN 10 persen oleh PLN sebagai pihak wajib pungut," katanya.

Sementara cara menghitung kerugian negara versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut bayar Rp74 miliar, yang artinya pajak yang tadi dianggap sebagai keuntungan PT Truba. Padahal, pajak tersebut tidak pernah diberikan kepada PT Truba karena sudah dipotong langsung oleh PLN.

"Ini jelas fakta hukum  terang-benderang yang salah. Angkanya dalam Kontrak adalah Rp74 miliar , tapi yang dikirim kan hanya Rp67 miliar. Jadi menghitung kerugian negara dari angka 74 milyar, Ini kan sudah jelas keliru. Ini angka tidak bisa dimanipulasi karena fakta hukumnya demikian," ujarnya.

Selain itu, ada dana sekitar Rp3 miliar yang disebut sebagai biaya pemeliharaan pekerjaan Retrofit. Menurut Wa Ode, juga tidak dihitung. Ada  juga soal denda keterlambatan pun langsung dipotong oleh PLN, bukan diterima PT Truba. Namun, malah dianggap sebagai keuntungan PT Truba.

"Biaya keterlambatan itu tak pernah dikirim kepada PT Truba, jadi dipotong langsung oleh PLN. Nah, ini dianggap sebagai keuntungan PT Truba, kan keliru cara hitungnya," tuturnya.

Selanjutnya ada juga pekerjaan komisioning yang dilakukan PT Austindo Prima Daya Abadi senilai Rp2,2 miliar. Di situ jelas merupakan pengeluaran yang nyata, karena ada faktur pajak dan sebagainya. Namun, ini juga tidak dihitung.

"Jadi maksud saya kekeliruan yang terjadi pada penuntutan itu diadopsi di dalam putusan hakim. Itu pertama terkait yang kata mereka kerugian negara, padahal tidak nyata dan tidak pasti jumlahnya," ujarnya.

Wa Ode juga menyesalkan tidak digunakannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN sebagai pertimbangan hukum. Padahal, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa kerugian BUMN bukan menjadi kerugian negara.

“Kalau mengacu Pasal 1 Ayat (2) KUHP, baik KUHP lama maupun yang baru, seharusnya digunakan UU yang lebih menguntungkan terdakwa. Tapi hal ini sama sekali tidak disinggung oleh hakim,” jelasnya.

Meski diakuinya, bahwa UU BUMN yg baru memang benar tidak ada kaitan dengan pidana. Namun, terkait kerugian keuangan negara yang merupakan inti delik Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang diterapkan dalam surat dakwaan, jelas bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, maka terkait kerugian negara dalam perkara ini (kerugian BUMN yakni PT PLN (Persero)), harus berdasarkan pada ketentuan dalam UU BUMN yang baru, yakni Kerugian BUMN bukan sebagai kerugian negara. 

"Jadi harusnya bagi terdakwa Nehemia Indrajaya diterapkan ketentuan UU yang lebih menguntungkan baginya yaitu UU No. 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, namun ini sama sekali tidak disinggung oleh hakim, tetapi malah mencari fakta-fakta lain yang sebetulnya lebih mengada-ada. Misal, soal pengaturan anggaran, bagaimana mungkin anggaran PLN kita bisa ngatur, Pak Nehemia itu siapa," katanya.

Wa Ode menambahkan, dalam persidangan, sebetulnya terungkap bahwa pekerjaan retrofit sebenarnya dikendalikan Hengky Pribadi, kakak ipar Nehemia, yang juga Direktur PT Haga Jaya Mandiri. Bukti-bukti berupa dokumen proyek, bukti surat, serta keterangan saksi di depan persidangan menunjukkan bahwa Hengky Pribadi adalah pihak yang mengerjakan dan yang mengambil keuntungan dari proyek tersebut, jika memang ada keuntungan.

"Fakta-fakta ini terang benderang, namun sama hakim diabaikan,  Padahal, bukti-buktinya diperoleh dari rumah Hengky Pribadi saat penggeledahan dan diakui oleh saksi dari penyidik,” ujarnya.

Sementara itu, kata Wa Ode, Nehemia tentu merasa kecewa. Sebab, kliennya tahu betul bagaimana fakta yang terungkap di persidangan. Pihaknya pun menegaskan bahwa menurut saksi-saksi yang diajukan Penuntut Umum di persidangan, tidak ada sama sekali intervensi kliennya, terutama terkait dengan perubahan anggaran maupun Pengadaan Retrofit Sistem Sootblowing PLTU Bukit Asam yang dipersoalkan.

Adapun untuk langkah hukum selanjutnya, Wa Ode menyerahkan sepenuhnya kepada kliennya, apakah nantinya bakal mengajukan banding atau tidak. 

"Ada waktu satu pekan untuk pikir-pikir. Jadi, kami serahkan sepenuhnya kepada Pak Nehemia Indrajaya selaku klien kami untuk mengambil keputusan apakah beliau mengambil langkah hukum banding atau tidak," pungkasnya.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Palembang diketahui memvonis tiga terdakwa kasus dugaan korupsi mark up pengadaan retrofit sistem sootblowing di PLTU Bukit Asam pada PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan. Ketiganya, Bambang Anggono, Budi Widi Asmoro, dan Nehemia Indrajaya mendapat vonis berbeda.

Bambang Anggono selaku mantan General Manager PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan, divonis 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp150 juta subsider 2 bulan. Sedangkan Budi Widi Asmoro divonis 5 tahun penjara  dan Rp250 juta subsider 6 bulan.

Budi juga dikenakan pidana tambahan untuk mengembalikan Uang Pengganti (UP) sebagai kerugian keuangan negara sebesar Rp750 juta.

Nehemia divonis 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dikenakan pidana tambahan untuk mengembalikan Uang Pengganti (UP) sebagai kerugian negara Rp17 miliar dengan ketentuan apabila tidak dapat mengembalikan diganti pidana penjara 3 Tahun. Kerugian Negara dalam perkara tersebut diperkirakan mencapai Rp26 miliar.