Indonesian Audit Watch Desak Presiden Prabowo Bongkar Skandal Frekuensi, Dugaan Kerugian Negara Capai Triliunan Rupiah
Jakarta –Skandal dugaan penyalahgunaan aset negara dalam sektor telekomunikasi kembali mencuat. Indonesian Audit Watch (IAW) menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk membuka dan menuntaskan berbagai dugaan pelanggaran serius dalam pengelolaan frekuensi dan laba BUMN telekomunikasi, termasuk oleh Telkomsel dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Dalam pernyataan resmi yang disampaikan oleh Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, terungkap adanya potensi persekongkolan antara sejumlah pejabat Telkomsel, PT Karya Daya Nugraha (KDN), dan oknum legislatif yang diduga terlibat dalam transaksi tidak transparan terkait pengelolaan frekuensi dan distribusi laba perusahaan.
“Ini bukan sekadar hubungan gelap bisnis-politik. Ini adalah puncak gunung es dari praktik sistematis perampokan kekayaan negara lewat BUMN sektor telekomunikasi,” ujar Iskandar.
Merujuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari tahun 2015 hingga 2023, ditemukan berbagai indikasi kerugian negara. Salah satunya adalah tarif Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi di Indonesia yang hanya 0,576%—terendah di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, Malaysia mengenakan tarif 3% dan Vietnam 2–5%.
Meski BPK telah merekomendasikan kenaikan tarif frekuensi menjadi minimal 2% sejak 2015, rekomendasi itu disebut tidak ditindaklanjuti oleh Kominfo selama bertahun-tahun.
Menurut simulasi IAW, jika tarif dinaikkan sesuai rekomendasi, negara bisa meraup tambahan pemasukan sebesar Rp20 triliun per tahun. “Tapi nyatanya, dana triliunan itu malah menguap lewat skema-skema tidak transparan,” jelas Iskandar.
Audit BPK tahun 2021 juga mencatat bahwa Telkomsel membayar royalti kepada Singapore Telecommunications Limited (SingTel) sebesar Rp1,2 triliun dengan nilai 30% di atas harga pasar. Akibatnya, potensi pajak yang hilang mencapai Rp450 miliar per tahun. Diketahui 35% saham Telkomsel dimiliki SingTel, sementara sebagian besar laba justru ditarik ke luar negeri.