Draf RUU Penyiaran Berbahaya untuk Demokrasi RI, Peran Krusial Pers Bisa Mundur Seperti Era Orba
- ANTARA Foto
Cerita Kita – Urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran dipertanyakan karena saat ini tengah digodok DPR dan pemerintah. Salah satu yang menuai kritikan adalah dalam draf RUU Penyiaran melarang media menyiarkan jurnalistik investigatif.
Dewan Pers menyoroti dengan keras urgensi RUU Penyiaran. Padahal, Presiden RI Joko Widodo sangat menghormati pers, bahkan sempat mengeluarkan Peraturan Presiden atau Perpres 32 tahun 2024 agar perusahaan platform beri dukungan pada hasil karya jurnalistik yang berkualitas.
"Lah kenapa, di draf RUU Penyiaran ini melarang media menyiarkan jurnalistik investigatif. Jurnalistik investigatif itu adalah mahkota dari kerja kerja jurnalistik," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di Bandung, Kamis, 16 Mei 2024.
Ninik menyindir RUU Penyiaran yang saat ini tengah digodok Badan Legislasi DPR RI dinilai sebagai upaya kesekian kalinya dalam memberangus kebebasan pers di Indonesia. Dia bilang jika pers diberangus maka akan membahayakan demokrasi.
"Ini upaya memberangus pers kita dan dinilai akan membahayakan demokrasi, dan semangat reformasi di Indonesia, ketika hak warga negara untuk mengetahui dan berbicara sangat dibelenggu," jelas Ninik.
Menurut dia, upaya memberangus pers Indonesia, bukan kali pertama terjadi. Upaya itu pernah sama dilakukan saat perancangan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dia mencontohkan saat momen 2017 melalui UU Pemilu. Kemudian, melalui UU Cipta Kerja yang melarang penyiaran pemberitaan. "Lalu draf UU penyiaran saat ini. Jadi ini bukan pertama kali upaya untuk meminggirkan peran pers dalam pemberitaan berkualitas," jelas Ninik.
Menurutnuya, ada kesinambungan upaya-upaya pemberangusan pers melalui draf-draf undang-undang sebelumnya. Hal itu bisa terlihat dari UU Pemilu, UU Cipta Kerja, UU KUHP, dan sekarang draf UU Penyiaran.
"KUHP baru kita, hanya diakomodasi satu, padahal ada dua pasal, untuk saat ini ada oknum yang sengaja menurut saya, dari otaknya sudah berfikir untuk mengebiri pers kita," tuturnya.
Ninik menambahkan, draf RUU Penyiaran saat ini sangat berbahaya untuk demokrasi di Indonesia. Sebab, hal itu jika melihat kelahiran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dia mengingatkan kelahiran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers diawali komitmen pada peletakan hak untuk mengetahui dan hak berbicara di Undang-Undang Dasar.
"Dan itu ada di Undang-undang 40 tahun 1999. Maka ketika ini dikeluarkan dari Undang-undang Penyiaran dan diturunkan dalam pasal yang melarang tadi, maka ini adalah kemunduran karena mengembalikan fungsi pers pada masa orde baru," ujar Ninik.
Lebih lanjut, dia mengatakan dalam draf revisi tersebut banyak sekali yang memberatkannya. Kata dia, setidaknya ada tiga pasal yang perlu perhatian, yakni Pasal 48, 58, dan 127. Lalu, ada juga Pasal 8 dan 30.
Ninik mengatakan Dewan Pers dan seluruh konstituennya dua hari lalu sudah menyampaikan pandangannya mengenai Draf RUU Penyiaran yang ditolak dengan tegas. Ia mengkritik dari sisi prosesnya memang tidak transparan karena tak melibatkan Dewan Pers yang berkaitan dengan UU tersebut. Insan pers juga tak dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut.
"Padahal di dalam draf RUU Penyiaran ini secara langsung mengatur soal produk jurnalistik. Ini artinya soal transparansi menjadi isu yang paling krusial dan perlu dipertanyakan," katanya.
Bagi dia, draf RUU tersebut tidak hanya akan mempengaruhi pers. Namun, ia menuturkan ada bagian penting, yakni hak warga masyarakat untuk tahu, dan diatur di dalam pasal 18 F. Selain itu, hak berbicara dan berpendapat yang menjadi modalitas utama Undang-Undang 40 tahu 1999 yang diatur di pasal 28 F.
"Itu adalah hak konstitusional dari warga negara yang harus diperjuangkan sekarang oleh teman-teman pers. Karena bisa jadi masyarakat tidak tahu kalau ini akan berdampak langsung implikasinya kepada mereka," katanya. (Ant)