Relawan Tolak Kebijakan BMAD 200% untuk Ubin Asal Cina: Kajian KADI Rugikan Jokowi
Jakarta – Relawan Joko Widodo (Jokowi) merespon rencana kenaikan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 200% yang dikenakan terhadap ubin keramik porselen dari Cina karena menuai polemik di masyarakat.
Ketua Umum Perjuangan Rakyat Nusantara (Pernusa), K.P. Norman Hadinegoro mengatakan kebijakan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) perlu disikapi dengan hati-hati karena beririsan dengan kepentingan rakyat. Selain itu, berpotensi merugikan tingkat kepercayaan publik kepada presiden.
Menurut Norman, kajian KADI perlu dikoreksi setelah mencermati analisis dari ekonom yang menilai lesunya industri ubin keramik dalam negeri disebabkan bukan karena adanya masuknya produk impor melainkan karena faktor lemahnya daya saing dan imbas dari Covid 19 yang melanda dunia termasuk Indonesia.
“Kalau saya melihat sebenarnya ini akibat dari dampak covid melanda dunia termasuk Indonesia, artinya untuk industri keramik di Indonesia banyak yang rugi kendalanya kan di situ. Nah sekarang kebutuhan kita tentang bahan keramik untuk pembangunan itu pun juga harus terpenuhi, jadi harus kita tetap membangun,” ujar Norman, dikutip Sabtu, 28 Juli 2024.
Norman menambahkan tidak ada yang salah dengan impor, kebijakan itu diambil untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk sementara waktu sembari menunggu kesiapan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Kata Norman, jangan sampai akibat pengenaan biaya masuk impor yang tinggi keramik menjadi langka dan mahal, sehingga itu bisa merugikan masyarakat dan berdampak menyalahkan Presiden Jokowi.
“Industri kita ini baru merangkak, oleh karena itu mungkin Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian mempunyai kebijakan untuk mengambil barang dari luar dulu, itu sifatnya sementara. Tapi jangan sampai nanti kredibilitas Pak Jokowi yang dipertaruhkan,” tegasnya.
Lanjut Norman mengatakan masyarakat tidak bisa menunggu industri dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan keramik yang mencapai 150 juta m2 pertahun, namun baru terpenuhi hanya 70 juta m2, menjadi konsekuensi logis ketika sementara 80 juta m2 itu ditambal dulu dari impor.
Norman berharap industri dalam negeri bisa menciptakan produk yang berkualitas tapi terjangkau dibandingkan produk dari luar, karena masyarakat pada umumnya tentu lebih memilih keramik yang berkualitas dan harganya lebih murah.
“Dari sisi masyarakat tentu mencari yang lebih murah dan berkualitas, sedangkan bahan baku yang kita sendiri keramik mahal, tapi masyarakat juga butuh, tidak bisa menunggu terlalu lama untuk mendapatkan keramik sama kaya beli bawang itu kita ambil dari luar negeri, rakyat kan butuh kalau kita menunggu panen apa mungkin,” ucapnya.
Lebih lanjut Norman menyatakan perdagangan ekspor maupun impor antar negara sudah diatur dalam perdagangan internasional, kerja sama itu harus diikuti oleh kedua negara antara Indonesia dan Cina, jika pemerintah mengenakan tarif tanpa pertimbangan yang matang bisa dibalas oleh negara bersangkutan atau dilaporkan ke WTO.
“Kan kita melihat bangsa satu dengan bangsa yang lain saling berdagang saling bersinergi, jadi harusnya melihat Indonesia secara global, bukan hanya Indonesia negara lain juga melakukan hal yang sama, tapi apa daya kondisinya masih seperti ini,” paparnya.
Di sisi lain Norman juga mendorong agar pemerintah tidak terlalu bergantung terhadap impor, melainkan harus mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Pasalnya kata Norman, Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, tinggal bagaimana pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar mampu menghasilkan produk yang berkualitas.