Indef Desak Kemenkeu Batalkan BMAD, Selamatkan Ekonomi dan Perdagangan RI

Peneliti Indef Andry Satrio Nugroho
Sumber :

Jakarta – Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho, mendesak pemerintah khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membatalkan atau menunda pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang diusulkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap produk keramik dari China.

Menurutnya, usulan KADI itu tidak tepat dan harus dilakukan peninjauan ulang. Jika dipaksakan maka perdagangan dan perekonomian Indonesia terdampak implikasi negatif, salah satunya menyangkut kelangkaan stok keramik di pasaran yang bisa berimbas terhadap kenaikan harga.

“Dalam hal ini pressure kepada Kementerian Keuangan bahwa Kementerian Keuangan harus melihat apakah memang saran ini tepat atau rekomendasi ini tepat, karena tentu yang kita takutkan implikasinya bermacam-macam, jangan sampai satu regulasi berimplikasi ke beberapa hal yang tentunya tidak kita inginkan ke depannya,” ujar Andry, Kamis 15 Agustus 2024.

Andry menambahkan saat ini saja sebelum BMAD ditetapkan, di tengah kebutuhan keramik yang tinggi mulai terjadi kelangkaan di pasar, hal ini menghambat masyarakat untuk membangun rumah, termasuk para kontraktor yang sedang mengerjakan konstruksi perumahan terkena imbasnya.

“Pemerintah harus jelas terkait dengan regulasi ini, karena kita tahu bahwa belum ditentukan keputusan dari BMAD ini, iya atau tidak, barang itu sudah langka. Kalau barang sudah langka real estate sulit untuk membangun padahal kontrak sudah berjalan, konstruksi sudah berjalan, kita juga melihat masyarakat pada akhirnya harus menanggung biaya akibat kelangkaan ini,” bebernya.

Kelangkaan ini menurut Andry mengerek harga keramik naik dan memukul daya beli masyarakat menjadi turun. Andry menghimbau pemerintah supaya tidak membuat kebijakan kontraproduktif yang membuat tekanan terhadap konsumsi masyarakat.

“Jadi menurut saya dampaknya sudah mulai terasa dan kita harus melihat di sisi lain, daya beli dari masyarakat ini sedang menurun, kelas menengah sedang turun degradasi ke kelas bawah ini menurut saya harus dilihat bahwa kita tidak boleh mengeluarkan regulasi yang pada akhirnya memberikan tekanan terhadap konsumsi dari masyarakat menengah,” tegasnya.

Lanjut Andry menyampaikan rencana penerapan BMAD yang awalnya mencapai 200% kini berubah turun menjadi sekitar 40-50% pun dipertanyakan, sebab mau sekecil apapun tarif yang dipatok harus dibuktikan secara objektif terlebih dahulu bahwa telah terjadi dumping.

“Regulasi itu harus jelas bahkan mau dibuat 10% sekalipun, kecil sekalipun harus terbukti bahwa ternyata memang terbukti dumping sebesar 10%, sehingga kita bisa mengenakan bea masuk 10%, nah ini tidak ada buktinya apa?,” ungkapnya.

“Bahkan menurunkan dari 200% ke 50% berarti ini kan hanya regulasi yang dibangun oleh intuisi yang bersifat subjektif bukan objektif, kepercayaan dari para pelaku usaha akan turun pada pemerintah. Oh ternyata regulasi yang dibuat ini semata-mata hanya bersifat subjektif,” imbuhnya.

Lebih lanjut Andry menuturkan jangan sampai kemudian pihak China melakukan balasan terhadap produk-produk dalam negeri, itu yang tidak diharapkan terjadi.

“Jangan sampai nanti otoritas dari China mempertanyakan dan pada akhirnya mereka juga membalas pengenaan bea masuk anti dumping untuk produk-produk kita, padahal kita tidak melakukan dumping. Nah itu yang kami takutkan sih sebetulnya, proses balasan ini yang bisa terjadi,” jelasnya.

Dikatakan Andry sebaiknya KADI membuka data kepada masyarakat bahwa jika memang telah terjadi dumping sampaikan secara objektif dengan angka yang akurat dan transparan. Ia menantang KADI untuk membuktikannya. Jika KADI tidak mampu membuktikan hal tersebut, Andry meminta untuk dilakukan kajian ulang yang lebih mendalam.

“Dumpingnya apakah besar atau kecil tidak disebutkan juga oleh KADI, kan tiba-tiba keluar, oke akan kenakan dumping 50%, nah 50% apakah memang dumpingnya sampai 50%, jangan-jangan ternyata lebih rendah lagi. Atau bahkan tidak ada dumping,” paparnya.

“Nah apakah KADI bisa membuktikan itu juga dengan hasil kemarin kan tidak ketahuan dumpingnya itu berapa? Nah ini menurut saya alangkah lebih baiknya perlu dilakukan investigasi ulang, kenapa demikian? Karena KADI ini kan menurut saya institusi yang dirasa menjadi institusi yang penting dalam hal membuktikan apakah produk impor ini terkena dumping atau tidak,” tuntasnya.