Pakar Hukum Boris Tampubolon sebut MA Punya Alasan Kuat Bebaskan Terpidana Kasus Vina

Ilustrasi hukum/pengadilan
Sumber :

Jakarta -   Pakar Hukum Pidana Boris Tampubolon, menyoroti proses hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan 7 terpidana kasus tewasnya Vina-Eky di Cirebon yang terjadi 8 tahun silam. Boris menilai MA memiliki alasan kuat untuk mengabulkan PK para terpidana itu.

Boris mengatakan, secara historis lembaga peninjauan kembali lahir tidak bisa dilepaskan dari kasus sengkon dan karta. Upaya hukum luar biasa ini bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran material.

“Dalam koteks peradilan pidana, kita tahu ada proses upaya hukum banding, kasasi, dan sampai Peninjauan Kembali (PK). Asumsi hukum dibalik adanya proses-proses itu adalah karena memang sangat mungkin pengadilan itu bisa keliru,” kata Boris, dalam keterangan yang diterima, Senin 23 September 2024

Karena pengadilan berpotensi keliru, kata Boris, Makanya ada tingkatan-tingkatan lebih tinggi untuk mengoreksinya. Jadi PK ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang “tidak penting”.

“Ini Justru sangat penting untuk memperbaiki bila ada yang keliru, dan ini harus didukung untuk tujuan seluruh penegak hukum yaitu keadilan dan kebenaran serta perbaikan hukum di negera ini, kata Boris

Boris mengungkapkan, Pasal 263 KUHAP mengatur alasan PK, yaitu adanya keadaan baru atau fakta baru (noviter perventa: bahasa latin), adanya putusan bertentangan, adanya kekhilafan atau kekeliruan.

“Dalam kasus Vina ini menurut saya ada 2 (dua) alasan hukum yang kuat, yakni Pertama, alasan adanya keadaan atau fakta baru. Atau biasa disebut novum. Orang suka keliru mengartikan novum. Novum suka diartikan sebagai bukti baru. Padahal novum bukan bukti baru. Tapi keadaan baru, fakta baru,” kata Boris.

Dalam Pasal 263 KUHAP, lanjutnya, jelas disebut keadaan baru bukan bukti baru. Misalnya kalau dulu faktanya A, ternyata sekarang terungkap fakta baru B. maka itulah yang disebut keadaan baru atau fakta baru. 

“Itulah novum yang harus dipertimbangkan oleh Majelis PK Mahkamah Agung,” kata Boris

Kedua, lanjutnya, alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan Hakim. Kekhilafan/kekeliruan ini tekait 4 hal, Pertama fakta. Kedua, hukumnya atau pasal-pasal yang dituduhkan, kemudian Ketiga mengenai mens rea/niat jahat. Keempat prosedur hukum acaranya baik segi pembuktian, cara memperoleh alat bukti, pelanggaran hukum acara, dan sebagainya.

“Misalnya kekeliruan dari segi pelanggaran hukum acara. Di KUHAP bilang keterangan saksi sebagai alat bukti itu adalah keterangan yang diberikan di depan sidang dan dibawah sumpah. Sementara ada saksi yang tidak dihadirkan tapi keterangannya cuma diambil dari BAP. Harusnya bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian,” kata Boris

Jadi, lanjutnya, kalau orang dipersalahkan dengan dasar keterangan yang dari BAP itu maka itu tidak bisa. “Dan bila itu terjadi, maka itu kekeliruan nyata,” katanya

Boris juga menyebut di KUHAP menyatakan saksi-saksi itu harus memberikan keterangan secara bebas. Ternyata faktanya keterangan itu tidak diberikan secara bebas, tapi diarahkan bahkan ada yang ditekan, diancam, atau bahkan disiksa, maka itu semua tidak sah.

“Tidak bisa dijadikan sebagai dasar atau bukti menyatakan seseorang bersalah. Artinya bila keterangan yang diberikan tidak secara bebas tersebut dijadikan dasar, maka itu merupakan kekeliruan yang nyata,” kata Boris