Kisah Umar bin Khattab dan Masuk Islamnya Penasihat Raja Byzantium

Ilustrasi Umar bin Khattab
Sumber :

Cerita KitaSosok Umar bin Khattab bin Nufail Ibn Abd al-‘Uzza Ibn Riyah Ibn Qurth Ibn Razah Ibn ‘Adiy Ibn Ka’ab Ibn Lu’aiy al-Qurasyiy al-‘Adawiy atau yang lebih dikenal Ummar bin Khattab, memang dikenal dengan ketegasannya. Tetapi di balik kharisma kepemimpinannya, umar merupakan sosok yang sangat sederhana. 

Jokowi Bakal Lantik Keponakan Prabowo Thomas Djiwandono Jadi Wamenkeu

Maulana Jalaluddin Rumi dalam Al-Matsnawi, mengisahkan mengenai sosok kerendahan hati Umar. Dimana pada suatu ada seorang penasihat kekaisaran Byzantium dari Constantinople datang untuk menghadap khalifah Umar bin Khattab di Madinah

Penasihat itu adalah seorang filsuf, cendikiawan, dan negarawan terkemuka. Setelah memasuki Madinah, utusan dari Byzantium itu merasa heran karena tidak melihat adanya istana kekhalifahan. 

Ini Orang Pertama dan Terakhir yang Masuk ke dalam Makam Nabi Muhammad SAW

Ia lalu bertanya kepada salah seorang penduduk Madinah. “Dimanakah istana raja kalian?”tanya sang utusan.

Orang yang ditanya oleh ksatria Byzantium itu hanya tersenyum, dan dijawabnya: “Raja kami tidak memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati dan ruhnya sendiri yang senantiasa diterangi oleh cahaya takwa.”

Momen Ratusan Siswa Ikuti Edutrip di Museum Maritim Jakarta, Pelajari Dunia Kepelabuhan

Utusan kekaisaran Byzantium itu merasa heran. Ia lalu kembali bertanya. “Lalu dimanakah raja kalian yang namanya kini tersohor itu, penakluk dua benua, penakluk dua imperium, Persia dan Byzantium itu?” tanya sang utusan. 

“Tidakkah tadi engkau sadar, di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati itu, seorang lelaki tengah memandikan dan memberikan makan kepada seekor unta?” kata seorang penduduk Madinah. 

“Mengapa memang?” tanya sang utusan semakin penasaran.

“Itulah sang khalifah dambaan kami, Umar ibn Khaththab. Ia tengah memberi makan dan memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim, dan para janda.” Utusan itu kemudian tergetar. 

Ia benar-benar telah melihat sesosok raja besar yang sangat bersahaja.  “Beritahu aku lebih jauh lagi perihal orang mulia itu,” kata sang utusan Romawi. 

“Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran-kotoran duniawi, terangi ia dengan cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik, dan akan melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan, dan kau pun bisa memasuki istana itu bersamanya,” 

Utusan itu kemudian mendekati Umar, dan bertanya mengapa ia melakukan pekerjaan kotor ini, memandikan unta dan memberinya makan. Tidakkah hal tersebut bisa dilakukan oleh bawahannya? Umar berkata: “Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah milik anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi tanggungan dan tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah akan menanyakan kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyat-rakyatku, apakah mereka menderita dan merasa diterlantarkan dan tak diurus olehku ...” 

Sang utusan pun kian terguncang. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama ini digambarkan dalam kitab Republik Plato itu benar-benar ada di hadapannya. Tak lama kemudian, sang utusan Byzantium itu pun bersyahadat dan mengikrarkan keislamannya di hadapan Umar.