PHK Sepihak Karyawan Yamaha Music dan Ujian Komitmen Presiden Prabowo terhadap Keadilan Buruh
Jakarta – Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap dua pengurus serikat pekerja PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA), Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin Zaini Miftah, menuai sorotan tajam dari kalangan buruh. Keduanya diberhentikan setelah aktif memperjuangkan hak-hak pekerja dalam forum perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2024.
Ketua Umum Pimpinan Pusat SPEE FSPMI, Abdul Bais, menilai tindakan tersebut mencerminkan resistensi perusahaan terhadap kehadiran negara dalam menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan.
“Yang dilakukan YMMA bukan sekadar PHK. Ini simbol penolakan terhadap institusi negara yang menjadi wasit dalam hubungan industrial,” ujar Bais dalam keterangannya, dikutip Selasa, 8 Juli 2025
Menurutnya, proses mediasi yang telah difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi dan bahkan mendapat atensi langsung dari Bupati Bekasi serta pejabat Kementerian Ketenagakerjaan justru diabaikan oleh manajemen.
“Perusahaan menunjukkan sikap arogan dan sepihak. Mereka seakan-akan kebal terhadap hukum dan lembaga negara,” kata Bais.
Dekat Pensiun, Tapi Diberhentikan
Slamet Bambang diketahui hanya tinggal dua tahun lagi memasuki masa pensiun, setelah 28 tahun mengabdi di perusahaan. Abdul Bais menyebut, pemecatan tersebut justru menegaskan bahwa upaya perlindungan terhadap buruh yang kritis masih sangat lemah.
“Apa yang ditunjukkan YMMA ini memperlihatkan bahwa buruh vokal masih dianggap ancaman, bukan mitra. Padahal perjuangan mereka hanya sebatas menuntut hak normatif,” ujarnya.
Ia juga menyinggung kemungkinan bahwa langkah YMMA merupakan bagian dari skenario besar. “Ada kekhawatiran kami bahwa ini awal dari manuver pailit atau restrukturisasi. Buruh dijadikan kambing hitam, seolah-olah tuntutan serikat adalah penyebab gangguan stabilitas perusahaan,” ujar Bais.
Melawan Semangat Presiden
Abdul Bais menegaskan bahwa apa yang dilakukan YMMA bertolak belakang dengan visi Presiden Prabowo Subianto. “Presiden sudah bicara jelas: tidak ada pembangunan tanpa keadilan bagi buruh. Tapi perusahaan seperti ini justru menampar komitmen negara di depan publik,” katanya.
Ia mengutip pernyataan Presiden Prabowo pada Hari Buruh 1 Mei 2025 lalu yang menyebutkan bahwa “Tidak ada kemajuan bangsa jika para buruh hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan.” Bais menambahkan, “Kalau negara diam saja, maka buruh akan bertanya: keadilan itu buat siapa?”
Diduga Langgar Hukum Nasional dan Internasional
Bais menyoroti bahwa PHK terhadap Slamet dan Wiwin diduga kuat melanggar Pasal 153 ayat (1) huruf f UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. “Undang-undang melarang PHK terhadap buruh karena aktivitas serikat. Kalau ini diterobos, maka PHK itu batal demi hukum dan harus dipulihkan,” tegasnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa Indonesia terikat Konvensi ILO No. 98 yang melindungi hak berserikat dan berunding bersama. “Kalau konvensi internasional dilanggar begitu saja, lalu bagaimana kita bisa bicara iklim investasi yang sehat dan berkeadaban?” ujarnya.
Negara Harus Hadir
Lebih jauh, Abdul Bais menyebut bahwa kasus ini bukan hanya persoalan dua buruh, tetapi menjadi ujian moral dan politik bagi pemerintah. “Ini bukan sekadar soal Slamet dan Wiwin. Ini ujian integritas negara dalam melindungi rakyatnya yang lemah,” tandasnya.
Ia pun mendesak Presiden dan Menteri Ketenagakerjaan untuk tidak tinggal diam. “Kalau negara tunduk pada tekanan korporasi dan membiarkan pelanggaran hukum, maka kepercayaan buruh terhadap hukum dan negara akan hilang,” kata Bais.
“Presiden sudah bicara soal keadilan ekonomi, sekarang saatnya dibuktikan. Negara harus hadir, tegas, dan berpihak pada keadilan,” pungkasnya.