Soal PK Mardani Maming, Pakar Hukum UI Desak KY Periksa Hakim Ansori
Jakarta – Komisi Yudisial (KY) diminta memeriksa Hakim Ad Hoc Tipikor yang juga Majelis Hakim peninjauan kembali (PK) Mardani H Maming Ansori, terkait rumor yang mendera hakim Ansori dalam lobi-lobi kasus dan juga rekam jejaknya yang pernah memperkuat putusan bebas Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM) Samin Tan. Terlebih, putusan Hakim Ad Hoc Tipikor Ansori seperti menutup mata dengan deretan barang bukti yang telah diajukan KPK terkait kasus Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM) Samin Tan.
Hal tersebut disampaikan Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia Chudry Sitompul menyoroti rekam jejak Hakim Ad Hoc Tipikor Ansori yang pernah memperkuat putusan bebas Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM) Samin Tan pada tahun 2021. Hakim Ad Hoc Tipikor Ansori bersama Hakim Agung Sunarto dan PRIM Haryadi menjadi Majelis Hakim di Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming.
“Jika buktinya kuat tapi hukumannya ringan, itu diduga ada permainan. Jadi, harus dilihat kasus yang lama itu, (Hakim Ad Hoc Tipikor) Ansori itu dirasakan bahwa ada sesuatu gak beres (KY harus memeriksa) tegas dia, Kamis, (26/9/2024).
Chudry menyarankan, pihak-pihak yang merasa ada keanehan terkait putusan dari Hakim Ad Hoc Tipikor Ansori saat itu untuk melapor kepada Komisi Yudisial (KY). Bahkan, Chudry meminta, KPK turun tangan bilamana saat itu putusan Hakim Ad Hoc Tipikor Ansori memperkuat vonis bebas koruptor Samin Tan dirasa aneh.
“Kalau memang dulu hakim Ansori itu, mungkin apa istilahnya, dirasakan ada keanehan, ya dilaporkan saja ke KY atau MA. Atau KPK sendiri harus menyelidiki, bagaimana Ansori memutuskan kasus yang dulu bagaimana (perkuat vonis bebas pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal Samin Tan),” ungkap Chudry.
Chudry mengingatkan, peninjauan kembali atau PK hanya dapat diterima apabila terdapat keadaan baru atau jika terdapat pernyataan di pengadilan yang saling bertentangan. Sejatinya, kata Chudry, PK Mardani H Maming layak ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) karena tidak memiliki novum baru.
“PK itu (diterima) menurut 23 KUHAP, apabila ada keadaan baru dan diketahui saat sidang atau jika ada pernyataan di pengadilan yang saling bertentangan atau jika ada kesalahan atau kekhilafan hakim saat putusan sidang,” pungkas Chudry.