Ma’arif Institute Ungkap Pentingnya Nilai-Nilai Universal Agama Untuk Tegakkan Moralitas

BPIP menggelar diskusi di Ambon, Maluku
Sumber :

Jakarta – Nilai-nilai universal agama menjadi salah satu sumber moralitas tertinggi dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Ma’arif Institute Andar Nubowo dalam FGD yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Etika dan Agama” di Universitas Pattimura, Ambon.

Kemiskinan Belum Terselesaikan, Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Masyarakat Dinilai Jadi Solusi

Andar mengatakan, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan nilai-nilai keburukan, semua nilai-nilai universal agama selaras dan integral dengan nilai etika dan moralitas secara umum. Karenanya orang yang menjalankan ajaran agamanya secara paripurna, ia juga akan berperilaku secara etis.  

“Religiutas bangsa Indonesia sudah terangkum dalam diktum pembukaan UUD 1945 dan sila pertama Pancasila, sebagai urat tunggang menurut Buya Hamka di dalam satu tulisan tahun1950, yang mendasari atau mempengaruhi sila lainnya,” Kata Andar Nubowo, dikutip Kamis, 26 September 2024.

Rakernas PERTI 2024: Oso Bicara tentang Inovasi dan Tantangan Pendidikan Islam

Namun fenomena yang terjadi saat ini adalah, ajaran agama hanya menggema menjadi sebuah ritual tanpa penghayatan. Agama hanya menjadi simbol dan institusi, bukan dimaknai dalam lubuk hati dan diimplementasikan menjadi perilaku. 

Para penyelenggara negara yang niretika seolah-olah mencederai wajah Indonesia sebagai “negara beragama (religious national state)”.

BPIP Bela Sungkawa Wafatnya Romo Benny Susetyo: Komitmennya Kuat Mengawal Pancasila

“Yang jadi keprihatinan adalah kita saksikan peluruhan etika dan moralitas publik yang banal di depan mata. Sebuah paradoks di negara yang beragama dan Pancasila,” imbuh Andar.

Dia menanbahkan, beberapa problematika saat ini diantaranya praktik korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan terhadap perempuan, egoism, hedonism, perilaku diskriminatif, perampasan terhadap sumber daya alam, perusakan lingkungan (ecological justice), perdagangan manusia (human trafficking), krisis integritas dan banyaknya conflict of interest.

Kemudian, terjadi juga politisasi agama dan politik identitas, menguatnya stereotif negatif dan prejudice, oligarki. Belakangan ini juga muncul politisi yang diistilahkan oleh Buya Yahya sebagai Politisi rabun ayam (radikal, rakus, tamak), rezim agama, ekstrimisme keagamaan, rendahnya amanah dan tanggung jawab dalam pemerintahan hingga menyebabkan erosi kepercayaan publik dan lain sebagainya.

Jika ditelusuri, lanjutnya, salah satu akar persoalannya adalah etika. Dia menyebut hal ini bukan hanya persoalan negara tetapi juga merupakan persoalan masyarakat “negara fotokopi Masyarakat” sehingga kesalahan sistem pembentukan karakter masyarakat menentukan sistem bernegara yang ideal. 

“Kalau kita gunakan cara pandang bahwa elite yg terpilih ituadalah representasi, pantulan dari warga kita. Maka yang harusnya diperbaiki adalah warga kita,” pungkasnya