Hari Raya Idul Adha: Ibadah yang Mencerminkan Ketundukan Nabi Ibrahim

Ilustrasi kurban
Sumber :

Jakarta  – Hari Raya Idul Adha, yang dikenal pula sebagai Hari Raya Kurban, merupakan salah satu hari besar dalam Islam yang sarat dengan makna spiritual dan keteladanan. Dirayakan setiap tanggal 10 Zulhijah, Idul Adha bukan sekadar momentum penyembelihan hewan kurban, tetapi lebih dari itu, merupakan peringatan atas kisah agung tentang ketaatan seorang ayah dan anak terhadap perintah Allah SWT.

Pahala Berlimpah di Bulan Dzulhijjah, Jangan Lewatkan Sejumlah Amalan Ini!

Kisah ini berakar dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Sebuah perintah yang di luar nalar manusia biasa, namun diterima dengan penuh ketundukan oleh keduanya. Nabi Ibrahim, seorang kekasih Allah yang telah menantikan anak selama puluhan tahun, diuji dengan perintah yang menuntut keimanan dan kepasrahan total.

Ketika Ibrahim menyampaikan perintah Allah tersebut kepada Ismail, sang anak tidak menunjukkan penolakan. Justru ia berkata, “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102). Respons ini menunjukkan betapa dalamnya keimanan Ismail, meski ia masih sangat muda.

Bulan Syakban, Ini Sederet Momentum Penting yang Terjadi dalam Sejarah Islam

Puncak dari ujian ini terjadi ketika Ibrahim membaringkan Ismail dan menghunuskan pisaunya. Namun, atas izin Allah, penyembelihan itu tidak terjadi. Allah mengganti Ismail dengan seekor domba yang besar, sebagai bentuk penghargaan atas ketulusan dan keteguhan mereka dalam menjalankan perintah-Nya. Inilah momen yang kemudian diperingati setiap Idul Adha.

Makna terdalam dari kisah ini adalah keteladanan dalam beribadah. Nabi Ibrahim dan Ismail mengajarkan bahwa ibadah bukanlah soal kenyamanan atau logika semata, tetapi soal kepatuhan dan cinta kepada Allah. Keduanya rela mengorbankan yang paling mereka cintai demi menjalankan kehendak Ilahi.

Cerita Dokter Tirta Putuskan Mualaf, Berawal dari Ayahnya Dihina dan Diremehkan

Pada hari Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia meneladani semangat pengorbanan ini dengan menyembelih hewan kurban, seperti kambing, sapi, atau unta. Namun sejatinya, yang lebih utama dari daging dan darah hewan tersebut adalah takwa yang tumbuh di dalam hati, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37).

Selain menyembelih hewan kurban, Idul Adha juga menjadi momen untuk mempererat solidaritas sosial. Daging kurban dibagikan kepada yang membutuhkan, menjadi simbol kasih sayang dan kepedulian antarsesama. Ini mengingatkan kita bahwa pengorbanan bukan hanya vertikal kepada Allah, tetapi juga horizontal kepada sesama manusia.

Di tengah modernitas dan kenyamanan hidup masa kini, kisah Ibrahim dan Ismail menjadi refleksi penting. Sejauh mana kita siap mengorbankan sesuatu yang berharga demi perintah Allah? Apakah kita masih menempatkan ibadah sebagai prioritas, atau telah tergerus oleh logika duniawi?

Hari Raya Idul Adha bukan hanya ritual tahunan, tetapi momentum spiritual untuk membangkitkan kembali semangat keimanan, ketundukan, dan pengorbanan. Dari kisah Nabi Ibrahim, kita belajar bahwa cinta sejati kepada Allah memerlukan keberanian untuk melepaskan, keikhlasan untuk taat, dan keteguhan untuk percaya, bahkan ketika jalan yang ditempuh tampak tak masuk akal.