Malin Kundang, Si Anak Durhaka, Kisah Legendaris Dari Sumatera Barat
- @dzul.ee/instagram
Cerita Kita –Siapa yang tidak kenal dengan cerita rakyat yang legendari satu, ya Malin Kundang Si Anak Durhaka cerita dari Sumatera Barat. Malin Kundang adalah cerita rakyat yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu.
Cerita rakyat yang mirip juga dapat ditemukan di negara-negara lain di Asia Tenggara. Ya ceritanya seperti ini, Zaman dahulu kala ada sebuah cerita di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat.
Ada seorang janda bernama Mande Rubayah yang hidup bersama anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande Rubayah sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin kemudian tumbuh menjadi seorang anak yang rajin dan penurut.
Ketika Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan dirinya dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh sakit keras, hingga nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diselamatkan-berkat usaha keras ibunya.
Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi. Saat Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.
Tapi ibunya tidak mengijinkan, Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani ibu. Kemudian ibunya yang sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.
Malin yang bersikeras untuk merantau terus meyakinkan dengan berkata Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku. Malin sambil menggenggam tangan ibunya
Sambil meminta, malin terus meyakinkan ibunya, Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah.
Dengan kesungguhan Malin untuk pergi merantau, sambil menangis ibu malin akhirnya luluh dengan berkata Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan Malin untuk pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Untuk bekalmu di perjalanan, sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu Malin Kundang berangkat ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian. Hari demi hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut.
la selalu mendoakan agar anaknya selalu selamat dan cepat kembali. Beberapa waktu kemudian ketika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, dan kini jalannya mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dahulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah. Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya.
Penduduk desa mulai berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira. Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali.
Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya. Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah.
Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang.
Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat Malin karena takut kehilangan anaknya lagi.
Malin terkejut karena dipeluk perempuan tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa perempuan itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah dan berkata,
“Perempuan jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku! Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!” ucapnya sinis.
Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga terguling ke pasir, “Perempuan gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar. Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata,
“Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!”
Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat perempuan itu bersujud hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata,
“Hai, perempuan gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!”
Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya diangkat ke langit. Ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu,
“Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis.
Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Malin pun ketakutan luar biasa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Lalu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.
Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di pinggir pantai terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia.
Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Kisah Legenda Malin Kundang ini memiliki pesan yang dapat diambil si Kecil, yaitu sayangi kedua orangtua saat susah dan senang, dan jangan melupakan jasa orangtua yang telah menyayangi dan mendidik dari kecil.