Tegas! Fernando Emas sebut Banten Bukan Hanya Milik Satu Keluarga
Jakarta – Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, mengungkapkan keprihatinannya terhadap pengaruh kuat politik keluarga yang dianggap mencederai prinsip demokrasi di Banten. Mengingat politik dinasti kembali kembali membayangi provinsi yang telah lama lekat dengan kekuasaan berbasis kekerabatan itu.
Baginya Banten bukan milik satu keluarga atau kelompok tertentu. Meski H. Tubagus Chasan Sochib memiliki peran penting dalam pembentukan Provinsi Banten, warisan ini tidak boleh menjadi alasan untuk melanggengkan kekuasaan dinasti politik keluarganya.
“Banten ini bukan milik satu keluarga bukan milik sekelompok orang walaupun Pak Haji Chasan merupakan salah satu yang mendukung pembentukan provinsi Banten saat itu,” kata dalam diskusi bertajuk “Politik Dinasti di Pilkada Banten: Ancaman bagi Demokrasi dan Potensi Kecurangan” yang dikutip Jumat 22 November 2024.
Fernando menilai, keberlanjutan politik dinasti bukan hanya soal niat keluarga yang ingin mempertahankan kekuasaan, tetapi juga karena adanya pembiaran dari masyarakat dan elite politik lainnya. Padahal dinasti politik tidak pernah memprioritaskan kepentingan rakyat. Mereka lebih mementingkan keluarganya, sehingga keadilan sosial bagi masyarakat luas sulit tercapai.
“Ini menjadi tugas kita bersama untuk melawan politik dinasti, karena mereka akan mementingkan keluarganya lebih dahulu, makanya ya jangan harap keadilan sosial bagi seluruh rakyat,” tandasnya.
Sementara itu, aktivis muda dari Tangerang Selatan, Achmad Fanani, turut mengingatkan bahaya kembalinya dinasti politik melalui figur-figur yang memiliki hubungan erat dengan keluarga Ratu Atut. Ia menyoroti pencalonan Airin Rachmi Diany, istri Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan, yang merupakan adik dari Ratu Atut.
Majunya Airin di kancah politik Banten berpotensi membuka jalan lebar bagi dinasti politik untuk tumbuh subur lagi. Ini adalah langkah mundur bagi demokrasi yang sudah mulai membaik setelah dinasti Ratu Atut runtuh.
Fanani mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin. Jangan pilih calon yang pro dinasti politik. Banten butuh sosok pemimpin yang objektif dan mampu membawa Banten ke arah yang lebih baik dengan perspektif demokrasi.
Fanani menambahkan, dukungan yang diberikan kepada keluarga tertentu kerap didasari oleh warisan sejarah, tetapi dampaknya justru mempersempit ruang demokrasi. Buktinya, kasus Airin dan hubungannya dengan praktik politik selama menjabat Wali Kota Tangerang Selatan menjadi salah satu bukti nyata.
“Bu Airin saat menjadi walikota itu bukan rahasia umum yang KPU dan Bawaslu itu ada titipan dan itu sudah menjadi hal yang biasa. Jadi jangan sampai masyarakat itu yang masalah nya banyak,” bebernya.
Airin Melaju KKN Menunggu? Dinasti Politik Ancam Banten Lagi
Founder Nusa Ina Connection, Abdullah Kelrey, mengkritik kehadiran Airin Rachmi Diany yang erat dengan manifestasi dinasti politik di Banten yang kemudian ia sebut sebagai ancaman serius terhadap demokrasi. Sebab dinasti politik memiliki hubungan erat dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang merongrong tata kelola pemerintahan dan menghambat pertumbuhan demokrasi di wilayah tersebut.
“Dinasti politik itu seperti saudara kembar dengan KKN. Jika kita membiarkan dinasti berkembang, itu sama saja membiarkan praktik KKN tumbuh subur di banteni,” ujar Kelrey.
Baginya Airin adalah simbol nyata kebangkitan dinasti politik di Banten. Sehingga bila merujuk pada yang dikatakan bahwa dinasti politik erat dengan KKN maka, semua tahu bahwa suami Airin, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan, yang merupakan adik dari Ratu Atut, memiliki rekam jejak buruk dengan kasus korupsi yang membawanya ke balik jeruji besi.
“Kalau istrinya, Bu Airin, nanti jadi gubernur, apakah kita bisa yakin dia tidak korupsi? Orang yang sudah pernah merasakan nikmatnya hasil korupsi pasti sulit lepas. Apalagi Bu Airin sendiri saat menjadi wali kota, jika penegak hukum serius, mungkin ada banyak hal yang bisa diungkap,” tandasnya.
Ia menambahkan, masyarakat Banten perlu menyadari bahwa dinasti politik tidak hanya merusak sistem demokrasi, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana aspirasi rakyat sulit tersalurkan. Abdullah menyebutkan, bahkan untuk mengadakan aksi protes di Banten saja sering kali menghadapi hambatan besar.
“Kita harus bangkit dari bayang-bayang dinasti politik dan KKN. Jika masyarakat tetap memilih pemimpin dari lingkaran yang sama, jangan harap Banten akan berkembang,” pungkasnya.