Ketua Umum HMI UNJ Dukung UU TNI, Ingatkan HMI Jangan Ahistoris terhadap Sejarah
Jakarta – Di tengah pro dan kontra terkait pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Muhammad Falah Musyafa, menegaskan bahwa TNI merupakan institusi resmi negara yang memiliki legitimasi konstitusional.
Ia juga mengingatkan bahwa HMI dan TNI memiliki sejarah panjang dalam membangun dan mempertahankan bangsa, dari perjuangan kemerdekaan hingga menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman.
“Dalam perdebatan mengenai UU TNI, muncul berbagai opini, bahkan ada yang mempertanyakan posisi TNI dalam sistem demokrasi. Apa yang salah dengan TNI? Apakah mereka institusi ilegal? Tentu tidak! Kita jangan ahistori, justru TNI adalah pilar utama pertahanan negara, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945. TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan NKRI. Tanpa TNI, Indonesia tidak akan mampu menghadapi berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri", kata Falah dalam keterangannya.
Menurutnya, HMI sejak awal berdiri telah memiliki hubungan erat dengan TNI dalam perjuangan menjaga bangsa.
“Sejak didirikan oleh Lafran Pane pada 5 Februari 1947, HMI telah berperan aktif dalam mempertahankan kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik, kader-kader HMI tidak hanya berjuang di ranah intelektual, tetapi juga turut serta dalam perjuangan bersenjata bersama Tentara Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) melawan agresi militer Belanda. Ini membuktikan bahwa sejak awal, HMI dan TNI memiliki tujuan yang sama: mempertahankan kedaulatan bangsa,” ujarnya.
Setelah Indonesia merdeka, tantangan tidak berhenti. Salah satu ancaman terbesar terhadap ideologi negara adalah upaya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ingin menggantikan Pancasila dengan komunisme.
“Dalam peristiwa G30S/PKI tahun 1965, HMI kembali menunjukkan komitmennya dalam menjaga stabilitas nasional. Bersama TNI, HMI menjadi garda terdepan dalam menolak ideologi komunisme yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Kader-kader HMI aktif dalam berbagai aksi melawan PKI dan memastikan bahwa Indonesia tetap berlandaskan Pancasila,” katanya.
Falah juga mengutip pernyataan Ketua PKI D.N. Aidit yang pernah menyindir HMI dalam pidatonya di hadapan kader Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa underbouw PKI.
"Dulu pada saat 1965, DN Aidit katakan 'Kalau kalian tidak bisa mengatasi HMI, pakai sarung saja!” tandas Falah.
Menurutnya, pernyataan ini menunjukkan betapa besar pengaruh HMI di kalangan mahasiswa dan bagaimana PKI melihat HMI sebagai penghalang utama bagi penyebaran komunisme di Indonesia.
“HMI tidak hanya bertahan dari tekanan ideologis, tetapi juga aktif dalam membendung gerakan yang berusaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain,” tambahnya.
Lebih jauh, Falah menegaskan bahwa hingga saat ini, sinergi antara HMI dan TNI tetap penting dalam menjaga keutuhan bangsa dan menghadapi tantangan baru, termasuk ancaman siber, terorisme, serta upaya-upaya yang mencoba melemahkan ideologi negara.
“Dalam setiap fase sejarah, HMI dan TNI selalu berada di garis depan dalam mempertahankan NKRI. Dari mempertahankan kemerdekaan, menghadapi agresi asing, hingga menangkal ideologi yang mengancam Pancasila, keduanya telah membuktikan komitmennya terhadap bangsa. Oleh karena itu, hubungan ini harus terus diperkuat dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan,” pungkasnya.