Gus Miftah Dorong Islah Konflik Kelompok Habaib-Walisongo, Ingatkan soal Bhinneka Tunggal Ika
Jakarta – Dalam upaya meredakan ketegangan antara kelompok Habaib Ba’alawi dan Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI) Laskar Sabilillah, pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah mengimbau semua pihak untuk mencari solusi damai melalui jalur islah.
Konflik yang memiliki dimensi budaya, identitas, dan religi ini, menurur Gus Miftah, hanya dapat diatasi dengan mengadakan dialog dan berupaya memahami secara komprehensif penyebab utamanya.
“Upaya islah antara kubu Ba’alawi dan PWI Laskar Sabilillah masih terbuka. Semua elemen bangsa, dari pemerintah hingga masyarakat, perlu bahu-membahu dengan caranya masing-masing untuk tujuan demokratisasi,” kata Gus Miftah, Rabu, 9 April 2025.
Gus Miftah menjelaskan, Konflik bermulai dari diferensiasi antara orang pribumi dan orang dari Yaman. Padahal mereka sama-sama anak bangsa. Hal ini tidak saja perang wacana di media, tetapi telah meresahkan warga, karena dibarengi kekerasan fisik.
Tahun lalu, 2024, kat Gus Miftah, massa menyerang sebuah rombongan mobil di Rengas Dengklok, Karawang, Jawa Barat. Namun, mereka salah sasaran. Kiai dan Anggota Banser tak bersalah mejadi korban.
Satu tahun sebelumnya, 2023, Habib Bahar bin Smith dengan berani menyebut keturunan Walisongo sudah punah sejak 500 tahun silam.
“Pernyataan tersebut dianggap merugikan dan mencemarkan nama baik sebagian orang. Ormas Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI) melaporkan Bahar bin Smith ke polisi,” ujarnya
Konflik sosial tersebut semakin serius sejak KH. Imaduddin Utsman menerbitkan sebuah buku, yang menghipotesakan bahwa nasab Ba’lawi terputus dari Rasulullah saw. Hal ini mendeligitimasi identitas keagamaan kelompok Ba’alawi.
“Parahnya lagi, panggung akademik, seminar, bedah buku dan debat publik tidak menemukan jalan keluar. Kegagalan akademik memperkuat badai konflik yang sudah ada,” kata Gus Miftah
Gus Miftah mengatakan, untuk mengislahkan dan mendamaikan antara kubu Habaib dan PWI Laskar Sabilillah tidak mudah. Berbagai tantangan yang menjadi kayu tungkunya harus terlebih dahulu diatasi, seperti fanatisme, sektarianisme, pengkultusan berlebih, politisasi dan monetisasi, serta yang terutama adalah masalah kemiskinan.
“Alex P. Schmid (2013) mengatakan, moderasi harus dilakukan dengan cara melawan semua pandangan politik maupun agama yang ekstrim. Tantangan-tantangan tersebut dapat teratasi apabila berbagai hambatan yang menghalangi juga tuntas, seperti tantangan sosial, kultural, dan akademik,” kata Gus Miftah.
Untuk mengatasi hal itu juga, sebenarnya Indonesia sudah memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna walaupun berbeda suku bangsa tetapi tetap satu.
“Semua kubu dan kelompok sebenarnya sedang melupakan semboyan bangsa, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Kita boleh berbeda-beda latar suku, etnis, dan ras tetapi harus tetap satu jua,” kata Gus Miftah.
“Marilah kita jaga persatuan dan kesatuan ini dengan kembali menyambung silaturrahmi. Minal aidzin wal Faizin. Semoga kita kembali ke Fitri,” pungkasnya