Koalisi Masyarakat Sipil Kritisi Pelibatan Dewan Pertahanan Nasional Dalam Mengurus Sawit
Keterlibatan DPN dalam urusan non-pertahanan hanya akan menghidupkan dwifungsi TNI (dulu ABRI) seperti masa Orde Baru yang mewariskan kasus pelanggaran berat HAM yang tak tuntas hingga kini.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menilai, masalah DPN ini diawali dari pembentukan Peraturan Presiden No. 202 tahun 2024 tentang DPN yang memuat pasal karet.
Pasal 3 huruf F, misalnya, mengatur bahwa DPN memiliki fungsi lain yang diberikan oleh Presiden. Kami khawatir pasal ini dijadikan pasal sapu jagat sehingga dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang lainnya dalam ranah non-pertahanan.
Keterlibatan DPN dalam mengurus permasalahan nasional di luar pertahanan nyata-nyata menunjukkan gejala kembalinya Dwifungsi militer Orde Baru dalam kehidupan bernegara. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mencatat, sebelumnya ada beberapa keterlibatan militer dalam ranah sipil yang bermasalah seperti pengamanan proyek Rempang Eco-City yang berakibat pelanggaran HAM.
Contoh lain, penyalahgunaan TNI dalam proyek lumbung pangan atau food-estate di Merauke, Papua Selatan yang berimplikasi besar bagi konflik aparat dengan masyarakat adat. Peran militer di Rempang Eco-City dan proyek food estate bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan sekaligus menjadi indikasi kembalinya dwifungsi ABRI.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, keterlibatan militer dalam ranah sipil harus dihindari. Keterlibatan militer di ranah non-pertahanan hanya akan menghidupkan kembali militerisme dan otoritarianisme dalam politik.
Pada titik ini, keterlibatan DPN yang terlalu jauh mengurusi urusan sipil, sebagaimana pernyataan Menhan, sudah semestinya dikoreksi dan pelaksanaannya harus dihentikan. Hal ini penting untuk menyelamatkan Reformasi 1998.