Diskusi Soal Asas Dominus Litis, Akdemisi: Sangat Mengancam Masa Depan Indonesia
Semarang – Ratusan mahasiswa yang terdiri dari aliansi mahasiswa DEMA, SEMA, dan seluruh Aliansi UIN Walisongo Semarang menghadiri dialog publik yang membahas tentang RUU Kejaksaan.
Diskusi bertajuk Era Baru Hukum di Indonesia atau Ancaman Demokrasi? Menelaah Ulang RUU Kejaksaan dan RKUHAP diselenggarakan di Auditorium 1 Kampus 1 UIN Walisongo, Semarang, Senin, 17 Februari 2025.
Hadir pula Wakil Dekan III Fisip dan Akademisi UIN Walisongo Semarang, Mochammad Parmudi, praktisi dan pengamat hukum LBH Mabadi, Vitroh Abdul Malik, dan Ketua Senat Mahasiswa UIN Walisongo, Safrizal Al Fadhil sebagai pembicara.
Vitroh menjelaskan uji materiil UU kejaksaan perlu dilakukan uji materiil terhadap UU Kejaksaan, terutama terkait kewenangan dominus litis yang dianggap sangat mengancam.
"Kewenangan ini memberikan kekuasaan penuh kepada jaksa dalam menentukan kelanjutan suatu perkara pidana, yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang," kata Vitroh.
Meskipun kewenangan tersebut dianggap mengancam, Vitroh mengingatkan bahwa hal ini adalah hukum yang berlaku saat ini.
"Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kritis dan strategis untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," lanjutnya.
Dia juga memprediksi bahwa di masa depan, jaksa tidak hanya akan memiliki kewenangan dalam penuntutan, tetapi juga bisa memperluas kewenangannya ke bidang lain, seperti penyidikan dan penyelidikan.
"Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan institusi lain, seperti kepolisian," tuturnya.
Dia menekankan pentingnya kepatuhan hukum yang harus dijalankan tanpa rasa takut terhadap Aparat Penegak Hukum (APH).
"Imunitas yang diberikan kepada jaksa dan lembaga lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu dievaluasi ulang untuk memastikan akuntabilitas," jelasnya.
Vitroh juga menyoroti bahwa maju mundurnya hukum di Indonesia dapat dijawab dengan pendekatan yang lebih kritis.
Dia menekankan pentingnya menelaah RKUHAP sebagai pedoman beracara agar tidak menimbulkan konsekuensi fatal, seperti ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
Vitroh juga mengajak peserta untuk tidak hanya melihat hukum sebagai aturan formal, tetapi juga sebagai instrumen yang harus berpihak pada keadilan sosial.
Sementara itu, Mochammad Parmudi menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip rule of law harus memastikan bahwa hukum dijalankan secara adil dan transparan.
"Namun, pemberian kewenangan absolut kepada jaksa melalui revisi UU Kejaksaan dapat mengancam demokrasi," kata Parmudi.
Dia memperingatkan bahwa kekuasaan absolut berpotensi menciptakan arogansi dan penyalahgunaan wewenang yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat.
Parmudi menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap kewenangan jaksa, terutama dalam hal penyidikan dan penyelidikan.
Dia juga menyoroti bahwa kewenangan ini memiliki potensi bahaya jika tidak dikontrol dengan baik.
"Imunitas yang diberikan kepada jaksa, yang hanya bisa diperiksa atas izin Jaksa Agung ini berbahaya dan perlu diuji kembali untuk memastikan akuntabilitas," jelasnya.
Parmudi juga mengingatkan bahwa kewenangan jaksa dalam menggunakan senjata api perlu diwaspadai.
"Kewenangan ini berpotensi disalahgunakan dan dapat menimbulkan konsekuensi fatal, seperti kekerasan yang tidak proporsional," tuturnya.
Dia menyerukan perlunya evaluasi kritis terhadap imunitas jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Di sisi lain, Safrizal menjelaskan bahwa kejaksaan saat ini memiliki kewenangan yang sangat luas, bahkan cenderung menjadi superbody dalam sistem hukum Indonesia.
"Kewenangan ini mencakup penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan, yang berpotensi menciptakan kekuasaan absolut," kata Safrizal.
Dia memperingatkan bahwa kekuasaan absolut ini dapat mengancam demokrasi dan menciptakan ketidakadilan sosial, terutama jika digunakan untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Safrizal juga menyoroti bahwa kekuasaan absolut kejaksaan dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Hal ini dapat memicu ketegangan sosial dan mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum.
Dia juga menekankan bahwa kekuasaan absolut ini dapat digunakan untuk membungsu suara kritis, termasuk gerakan mahasiswa yang selama ini menjadi pengawal demokrasi.
Safrizal lantas menyerukan agar gerakan mahasiswa lebih aktif dalam mengkritisi kebijakan hukum yang berpotensi merugikan masyarakat.
"Mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan keadilan dan transparansi dalam sistem hukum," tuturnya.
Dia juga mengajak peserta untuk bersama-sama menolak asas dominus litis dan imunitas kejaksaan yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap demokrasi.
Di akhir kegiatan Ratusan mahasiswa yg terdiri dari Aliansi Mahasiswa UIN Walisongo Semarang bersama dengan Wakil Dekan 3 FISIP UIN Walisongo Semarang mendeklarasikan penolakan terhadap Asas Dominus Litis.