Pakar: Kejaksaan Tidak Boleh Menjadi Superbody dalam Penegakan Hukum
Jakarta – Peran kejaksaan dalam sistem peradilan pidana kembali menjadi sorotan menyusul potensi bahaya dari Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 11 Tahun 2021, tentang Kejaksaan. Sebab, RUU itu dapat memberikan kewenangan berlebihan kepada Korps Adhyaksa tersebut.
Seiring dengan besarnya peran itu, muncul pertanyaan: ‘apakah kejaksaan berpotensi menjadi superbody yang menguasai seluruh proses peradilan pidana? ‘
Pakar Hukum Prof Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan dalam sistem peradilan pidana yang terintegrasi, setiap aparat penegak hukum memiliki peran dan kewenangan masing-masing.
Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksa berwenang menuntut, hakim mengadili, sementara advokat dan lembaga pemasyarakatan juga menjalankan fungsi spesifik dalam penegakan hukum.
Oleh karena itu, meskipun kejaksaan memiliki peran sebagai pengendali perkara, tetap harus dijaga prinsip diferensiasi fungsional agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
"Bukan berarti jaksa harus mengambil kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Polri. Tetapi dia melakukan koordinasi. Koordinasi itu bukan koordinasi vertikal. Tetapi koordinasi horizontal," kata Eddy melansir Podcast Akbar Faizal Uncensored bertajuk 'Rebutan' Kewenangan Penyidikan Polri - Kejaksaan dalam KUHAP: Kejaksaan Menuju Superbody? Minggu 2 Maret 2025.
Dalam konteks pengawasan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan memiliki mekanisme seperti penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), P-16, dan P-19.
Instrumen hukum ini menjadi alat kontrol jaksa terhadap proses penyidikan agar tetap sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Namun, jika kewenangan pengawasan ini diperluas tanpa batasan yang jelas, dikhawatirkan akan terjadi potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
"Saya kira KUHAP kita ke depan itu tidak lain dan tidak bukan, harus merunjuk pada apa yang kita kenal dengan due process of law. Suatu nilai-nilai dalam sistem peradilan pidana yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa berarab di dunia dan itu berlaku," ucapnya.
Diketahui, dalam beberapa waktu terakhir, muncul gelombang kritik terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
Banyak pihak menilai bahwa perubahan regulasi ini berpotensi membuka jalan bagi kewenangan yang terlalu luas bagi Korps Adhyaksa.
Alih-alih memperkuat sistem hukum, revisi ini justru dikhawatirkan melampaui batas yang wajar dan berpotensi bertentangan dengan konstitusi maupun undang-undang yang sudah ada.
Lebih dari itu, revisi ini dinilai membuka celah bagi upaya ‘menyelundupkan’ pasal-pasal baru yang memperbesar wewenang Kejaksaan tanpa kontrol yang memadai.
Salah satu sorotan utama adalah pemberian kewenangan intelijen kepada Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan.
Padahal, hal ini bertolak belakang dengan prinsip dasar intelijen yang seharusnya bekerja di ruang-ruang tertutup dan tidak terlibat langsung dengan objek penyelidikan.