Soroti PHK 2 Pengurus Serikat Yamaha, Noor Azhari: Ini Upaya Bungkam Buruh dan Abaikan Hukum
Jakarta – Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Ketua dan Sekretaris Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PUK SP FSPMI) di PT Yamaha Music Manufacturing Indonesia (YMMI) terus menuai kecaman. Tindakan ini dinilai tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencerminkan gejala pelemahan demokrasi industrial di Indonesia.
Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, menyatakan bahwa langkah manajemen YMMI tersebut patut diduga sebagai bentuk union busting atau pemberangusan serikat pekerja secara sistematis.
“Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 dan No. 98 yang menjamin kebebasan berserikat dan hak berunding bersama. Tapi realitasnya, dua pengurus aktif justru dipecat saat mereka menjalankan fungsi serikat. Ini ironis dan berbahaya,” tegas Noor Azhari, Selasa, 8 Juli 2025
Melanggar Prosedur Hukum, Abaikan Pengadilan
Noor menegaskan bahwa pemecatan tersebut dilakukan tanpa mengacu pada prosedur hukum yang berlaku, termasuk tidak adanya izin dari Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003.
“PHK terhadap pengurus serikat aktif harus melalui mekanisme hukum yang ketat. Tapi ini dilompati begitu saja. Ini bisa memicu kriminalisasi hubungan industrial,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, proses PHK wajib didahului dengan upaya bipartit atau mediasi tripartit. “Tanpa itu, PHK jadi cacat hukum. Apalagi jika dilakukan saat pekerja tengah memperjuangkan hak normatif,” kata Noor.
Tolak Arahan Pemerintah, Timbulkan Kecurigaan
Noor juga mempertanyakan keras kepala manajemen YMMI yang tetap melanjutkan PHK meski telah diarahkan oleh Bupati Bekasi, Dinas Tenaga Kerja, hingga Kementerian Ketenagakerjaan agar menyelesaikan konflik secara dialogis.
“Ketika perusahaan asing mulai mengabaikan instruksi pemerintah, publik patut curiga. Ada apa di balik kekerasan sikap ini? Apakah ini sekadar soal dua buruh, atau ada skenario yang lebih dalam?” tanya Noor.
Kerugian Rp50 Miliar Tak Bisa Jadi Alibi
Pihak perusahaan dikabarkan menyebut bahwa tekanan serikat pekerja menyebabkan potensi kerugian hingga Rp50 miliar. Namun Noor menilai klaim itu tidak berdasar.
“Kalau memang ada kerugian, buktikan lewat audit independen. Jangan dijadikan alasan sepihak untuk memecat dua orang yang justru sedang memperjuangkan hak pekerja. Ini cara klasik untuk membungkam gerakan buruh,” ujarnya.
Menurut Noor, secara hukum, kerugian materiil harus dibuktikan secara objektif dan kausal. “Kalau tidak ada transparansi, itu hanya jadi alat propaganda perusahaan,” imbuhnya.
Mengancam Demokrasi di Tempat Kerja
Dalam pandangan Noor Azhari, kasus ini bukan sekadar konflik industrial, tetapi serangan terhadap demokrasi di tempat kerja. “PHK terhadap pengurus serikat aktif adalah pesan intimidatif: jangan bersuara, atau kau akan diberhentikan. Ini strategi pembungkaman, ini chilling effect,” tegasnya.
Pemerintah Tak Boleh Bungkam
Ia juga menekankan pentingnya tindakan tegas dari pemerintah, terutama Kementerian Ketenagakerjaan. “Kalau negara diam, itu artinya negara kalah. Hukum tidak boleh tunduk pada modal,” kata Noor.
Ia mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo yang pernah menyatakan bahwa investasi yang sehat adalah investasi yang adil dan berkelanjutan. “Artinya, buruh harus dilindungi. Kalau dibiarkan, hukum ketenagakerjaan kita akan kehilangan wibawa,” katanya.
Desak Transparansi, Bongkar Dugaan Konspirasi
Menutup keterangannya, Noor Azhari mendesak agar pemerintah dan masyarakat sipil membongkar dugaan pelanggaran ini secara terbuka.
“Kita perlu tahu, apa motif sesungguhnya. Apakah ini hanya soal konflik internal, atau ada desain untuk memberangus serikat dan menghindari kewajiban hukum? Ini harus dibongkar,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya solidaritas lintas sektor. “Ini bukan hanya perjuangan dua orang. Ini soal masa depan demokrasi industrial Indonesia. Kita tidak boleh membiarkan buruh berjuang sendirian,” pungkasnya.