Prabowo, Inspirasi Gandhi dan Spirit Swadesi

Presiden Prabowo dan PM India Narendra Modi
Sumber :

Berbeda dengan India, yang dijajah oleh Inggris, sebuah negara industri maju. Sebagai negara industri, Inggris selain menjadikan India sebagai sumber eksploitasi bahan mentah, seperti kapas, dll. Inggris juga menempatkan India sebagai pasar bagi produk industrinya.

Manajemen Buka Suara Jawab Polemik Publik, PSN dan PIK 2 Adalah Hal Berbeda

Karena itu, Inggris juga membutuhkan meningkatnya daya beli di tanah jajahan. Maka tumbuhlah sejumlah industri, seperti industri pertanian, industri baja, industri tekstil. Pabrik-pabrik tumbuh untuk menyerap lapangan pekerjaan. Institusi pendidikan untuk mendidik rakyat juga didorong oleh pemerintahan kolonial Inggris. Tenaga terdidik dan terampil itu akan dijadikan sebagai penopang industri, yang akan turut mendongkrak daya beli masyarakat.

Ketika Tilak melancarkan boikot produk Inggris untuk mencapai kemerdekaan, gerakan ini menemukan alas teoritiknya. Gerakan ini ditopang oleh basis kekuatan politik dari industri dalam negeri India yang sedang tumbuh, yaitu kaum terpelajar, tuan-tuan tanah, saudagar, pengrajin kecil, petani dan buruh yang dirugikan oleh kebijakan kolonialisme Inggris.

MPSI: Statemen Jokowi Seharusnya Jadi Tokoh Bangsa, Bukan Memperkeruh Situasi

Stop Mental Bergantung

Bagaimana dengan keadaan bangsa kita saat ini? Ketergantungan bangsa kita pada modal (utang) dan produk asing (impor) telah memasuki tahap yang mulai mencelakakan bangsa kita sendiri. Industri nasional milik anak-anak bangsa kita sebelumnya mulai tumbuh dan mekar.

Komunikasi Efektif Mempengaruhi Tingkat Kepuasan Publik Terhadap Kinerja Prabowo-Gibran

Namun kini, industri itu mulai runtuh berkeping-keping digempur oleh kebijakan perdagangan bebas, paket kebijakan liberalisasi investasi, hingga liberalisasi impor. Pabrik tekstil, seperti Sritex, pabrik raksasa dan terbesar di Asia Tenggara, sudah 58 tahun berdiri, gulung tikar tutup, akibat banjir impor tekstil dari Tiongkok.

Sebetulnya sejak ASEAN-China Free Trade Agrement (ACFTA) efektif dijalankan pada tahun 2010, mulai saat itu industri nasional kita tidak bisa lagi tegak berdiri di kaki sendiri. Produk China seperti tekstil, makanan, minuman, kosmetik, fiber sintetis, elektronik (kabel) dan peralatan listrik, kerajinan rotan, permesinan, besi serta baja merajalela pasar dalam negeri. Semuanya hampir dipasarkan dengan harga murah (low price), lebih murah ketimbang produk dalam negeri kita.

Tragisnya, kini sejumlah industri nasional, yang telah runtuh itu mulai diubah menjadi gudang-gudang untuk menampung produk barang impor, terutama produk impor yang datang dari negeri Tiongkok yang sedang membanjiri pasar kita.

Halaman Selanjutnya
img_title