Penyikapan MA soal Isu Intervensi di PK Mardani Maming Dinilai Tidak Kontekstual

Mardani Maming
Sumber :

Jakarta – Penyikapan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Suharto terkait adanya intervensi dan cawe-cawe dalam Peninjauan Kembali atau PK yang diajukan terpidana kasus korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mardani H Maming dinilai normatif dan tidak kontekstual. Pasalnya, meski hakim mempunyai kebebasan namun bukan berarti bisa menyimpangi hukum.

Massa PMJAK Demo di Depan KPK, Minta Kepastian Hukum Dugaan Korupsi e-KTP dan Alkes di Banten

Demikian disampaikan Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyoroti pernyataan dari Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Suharto soal intervensi dan cawe-cawe terkait peninjauan kembali atau PK yang diajukan oleh eks Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming. 

“Pernyataan Suharto itu normatif tetapi tidak kontekstual dengan kasusnya. Hakim itu benar punya kebebasan, tetapi bukan bebas untuk menyimpangi hukum jadi tidak boleh juga seenaknya,” kata dia, Rabu, 28 Agustus 2024.

Putusan PK Mardani Maming Jadi Preseden Buruk, Pakar: MA Tak Punya Perspektif Anti Korupsi yang Kuat

Ilustrasi hakim pengadilan

Photo :
  • -

Fickar mengungkapkapkan, Majelis Hakim tidak dapat memaksakan intervensi apalagi melakukan cawe-cawe dalam pengambilan keputusan soal PK. Fickar menyoroti soal kabarnya Ketua majelis hakim ngotot ingin agar PK Mardani H Maming dikabulkan guna mengurangi hukuman.

Oknum Pensiunan MA Ditangkap Kejagung, Alvin Lim Sebut Penegakkan Hukum RI Bobrok

“Kan sudah jelas dua hakim agung menolak PK Satu ngotot mengabulkan meskipun yang mengabulkan untuk ketua majelis tetap tidak bisa memaksa hakim hakim anggotanya,” tegas dia.

Dengan demikian, tegas Fickar, peninjauan kembali atau PK yang diajukan oleh Mardani H Maming sangat jelas harus ditolak oleh Mahkamah Agung atau MA. 

“Jadi PK itu memang harus ditolak,” tandasnya.

Diketahui, terpidana kasus korupsi Izin Usaha Pertambangan Kabupaten Tanah Bumbu, Mardani H Maming berkelit dari jeratan hukum, memasuki babak baru. Mardani mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA.

Mardani H Maming mendaftarkan PK secara diam-diam pada 6 Juni 2024, bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2004. Nama Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Suharto diduga terlibat dalam Peninjauan Kembali atau PK yang diajukan terpidana kasus korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mardani H Maming hingga membuat prosesnya tarik menarik saat ini.  

Diduga Wakil Ketua MA Suharto menjadi pihak yang membantu Mardani H Maming agar PK yang diajukan dapat dikabulkan demi meringankan hukuman.

Dalam ikhtisar proses perkara itu juga disebutkan Majelis Hakim yang memimpin Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming ialah Ketua Majelis DR. H. Sunarto, SH. MH, Anggota Majelis 1 H. Ansori, SH, MH dan Anggota Majelis 2 Dr. PRIM Haryadi, S, M.H. 

Sementara Panitera Pengganti dalam proses Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming ialah Dodik Setyo Wijayanto, S.H.

Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Suharto menepis adanya anggapan intetvensi dalam proses peninjauan kembali atau PK Mardani H Maming. Suharto menegaskan bahwa Hakim itu merdeka dan mandiri terbebas dari segala intervensi yang ada. 

“Lho Hakim itu merdeka dan mandiri," kata dia, Selasa, (27/8/2024).

Dalam prosesnya Peninjauan Kembali atau PK Mardani H Maming diketahui bahwa Ketua Majelis Sunarto ngotot agar hukuman dari mantan Bendum PBNU dapat diturunkan. Maming H Maming disebut memegang sosok Wakil Ketua MA Suharto untuk memuluskan jalannya tersebut.

Tak hanya itu, dalam informasi yang beredar Mardani H Maming disebut-sebut sengaja ajukan Peninjauan Kembali atau PK secara diam-diam lantaran ada maksud untuk memberikan suap. Namun sayangnya usaha Mardani H Maming tersebut terganjal lantaran 2 Majelis Hakim lainya menolak untuk mengabulkan gugatan PK yang diajukan oleh Mardani H Maming.

Jaksa KPK Greafik Lioserte beberapa waktu lalu meminta Mahkamah Agung (MA) menolak PK yang diajukan mantan Bendum PBNU dan Ketua DPD PDIP Kalsel itu. Dalam permohonan PK itu, salah satu dalil yang digunakan Mardani H Maming adalah kekhilafan majelis hakim terkait putusan kasus korupsi IUP Tanah Bumbu yang merugikan negara Rp104,3 miliar periode 2014-2020. 

“Kami berkesimpulan tidak terdapat satu pun alasan yang dijadikan sebuah dasar untuk menyatakan bahwa putusan hakim telah terdapat kekhilafan. Baik putusan majelis di tingkat pertama, banding maupun kasasi,” kata Greafik.