Dampak PKPU BPM: Sinyal Bahaya Bagi Pola Investasi Tambang Nasional
Jakarta – Status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang kini dihadapi oleh PT Bara Prima Mandiri (BPM) kembali memunculkan kekhawatiran terkait kepastian hukum dan perlindungan investor di sektor pertambangan nasional.
Perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi ini resmi ditetapkan berada dalam proses PKPU berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 21/Pdt.sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt. Pst.
Berdasarkan dokumen persidangan, dua pihak kreditur tercatat mengajukan tagihan dengan nilai total lebih dari Rp125 miliar. Salah satu di antaranya merupakan perusahaan penanaman modal asing yang sejak awal telah menjadi mitra strategis BPM dalam mendanai kegiatan eksplorasi dan operasional pertambangan.
Model kolaborasi semacam ini—antara pemegang IUP dan investor eksternal—selama ini memang menjadi pola umum dalam praktik industri pertambangan di Indonesia, terutama bagi perusahaan yang belum memiliki infrastruktur produksi sendiri.
BPM diketahui memegang IUP Operasi Produksi untuk komoditas batubara seluas 3.851 hektare yang berlokasi di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Luasan wilayah dan perizinan tersebut tercatat resmi dalam Sistem Minerba One Data Indonesia (MODI).
Dalam praktik operasionalnya, BPM menjalin kerja sama dengan sejumlah mitra, termasuk PT Petrosea Tbk dan PT Niaga Jasa Dunia. Keterbukaan informasi dari Petrosea pada Februari 2025 mengonfirmasi keterlibatan mereka dalam kegiatan tambang bersama BPM.
Namun hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari para mitra tersebut mengenai dampak yang ditimbulkan dari status hukum BPM terhadap proyek bersama. Sementara itu, IUP yang dimiliki oleh BPM akan berakhir pada 9 Juni 2026.