MPSI: Statemen Jokowi Seharusnya Jadi Tokoh Bangsa, Bukan Memperkeruh Situasi

Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari
Sumber :

Jakarta – Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, menilai pernyataan Presiden RI ke-7, Joko Widodo, terkait sertifikat HGB laut hanya memperkeruh situasi yang sudah memanas. 

MPSI Desak DPR Panggil Jokowi Terkait Terbitnya HGB Laut di Tangerang

Menurut Noor Azhari, komentar tersebut tidak hanya terkesan sebagai bentuk apologi, tetapi juga menyakitkan karena Jokowi menyalahkan bawahan dan sistem pelayanan satu pintu tanpa introspeksi pada diri sendiri. 

“Sebagai mantan presiden, tentunya Jokowi sangat memahami proses pemberian sertifikat laut, dimana beliau semestinya melakukan cross-check yang mendalam sebelum mengeluarkan pernyataan. Sebaliknya, yang terjadi adalah seakan upaya cuci tangan yang justru mencoreng kredibilitasnya sendiri,” ujar Noor Azhari, Sabtu, 25 Januari 2025

ISeaM Desak Penegak Hukum Periksa Jokowi Buntut Keppres PSN PIK 2

Noor Azhari juga menegaskan bahwa seorang mantan presiden diharapkan menjadi tokoh bangsa yang mendorong rekonsiliasi dan tidak ikut-ikutan memberikan komentar yang justru memperburuk keadaan. 

“Sebagai tokoh bangsa, seharusnya Jokowi memberikan contoh sikap bijaksana dan tidak menyalahkan bekas bawahannya, apalagi hingga seakan-akan mengintervensi mereka dengan cara yang tidak tepat,” tegasnya.

Kisruh HGB Laut Tangerang, Warisan Kebijakan Jokowi Masa Lalu

Ia menilai sikap Jokowi yang menyebutkan nama kepala daerah di tiga provinsi, yakni di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur, justru memperlihatkan ketidakpahaman terhadap transisi kepemimpinan. 

“Jokowi harusnya paham, saat sudah bukan lagi di posisi penguasa, penting untuk menghargai otonomi daerah dan tidak mencampuri urusan yang tidak lagi menjadi kewenangannya,” tambah Noor Azhari.

Ia juga mengkritik kebijakan reklamasi di Semarang, Jawa Tengah, yang mengorbankan ribuan hektare sawah produktif, yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. 

“Reklamasi itu menjadi salah satu warisan buruk yang harus dipertanggungjawabkan. Menyalahkan bawahannya tanpa mengakui dampak kebijakan yang beliau buat adalah suatu bentuk kelalaian terhadap tanggung jawab kepemimpinan,” ujar Noor Azhari.

Lebih lanjut, Noor Azhari menyatakan bahwa kekacauan yang terjadi saat ini tidak lepas dari warisan kebijakan Jokowi selama menjabat. 

"Apa yang diutarakan oleh Jokowi bak peribahasa lama, 'menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri’, sepertinya beliau kebanyakan main air kolamnya itu", tendasnya. 

Ia menegaskan, sudah saatnya pemerintah saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. 

“Presiden Prabowo harus menunjukkan keberanian politik dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Negara ini adalah negara hukum, di mana tidak ada manusia atau korporasi yang kebal terhadap aturan,” ujarnya.

Noor Azhari memberikan contoh kepada pemerintah untuk belajar dari Singapura, di mana pelanggaran hukum oleh pihak swasta, termasuk konglomerat dan perusahaan asing, dapat berujung pada pencabutan izin usaha.

Menurutnya, pendekatan tegas seperti itu perlu diterapkan di Indonesia agar tidak ada pihak yang merasa superior di atas hukum.

“Indonesia harus berdiri tegak sebagai negara hukum (rechtstaat), di mana hukum menjadi penguasa tertinggi, bukan individu atau kelompok tertentu", ungkap Noor Azhari.

Noor Azhari mengingatkan bahwa menjaga kepercayaan publik terhadap kepemimpinan saat ini sangat penting untuk menghindari polarisasi yang semakin merugikan. 

"Para pejabat publik, harus bisa jaga kepercayaan publik. Sehingga,hal yang paling penting adalah semua pihak, baik mantan pejabat maupun masyarakat umum, harus ikut menjaga stabilitas politik dan sosial demi masa depan bangsa", pungkasnya.